Petani Kecil dan Teknologi Informasi

Petani kecil di Afrika Selatan, kini tak perlu risau lagi. Sebuah aplikasi teknologi telah membantu mereka. Aplikasi itu bernama ‘Khula App’.

Dengan aplikasi itu, produk mereka cepat diserap oleh pasar. Mereka tak lagi kebingungan bagaimana hendak memasarkan hasil bumi dari petak kecil para petani. Khula App membantu para petani menyalurkan hasil bumi mereka ke konsumen. Aplikasi ini juga membantu konsumen yang membutuhkan sayuran segar dan organik. Petani dan konsumen sama-sama beruntung.


Di Yogya, inisiatif semacam ini sebetulnya bukan barang baru. Bertahun-tahun yang lalu, ada sekelompok petani muda yang memasarkan produk pertanian organik mereka secara langsung ke konsumen. Bedanya, para petani ini memakai teknologi sms. Setiap pagi, hasil bumi petani ini didata, lalu mereka mengirim sms ke semua konsumen yang berlangganan. Konsumen itu kemudian akan mengirim balik permintaan sesuai dengan kebutuhan mereka.

Tentu dengan model aplikasi, lebih mudah dan murah lagi. Para petani tinggal mengunggah hasil panen mereka di pagi hari, lalu para konsumen baik perorangan atau lembaga bisa langsung mengakses jenis produk, harga, kuantitas, kualitas, dan lokasi. 

Misal: Mas Marno pagi ini panen 3 kg tomat organik, 2 kg cabe organik, 20 ikat sawi segar, dan sekian kilogram mangga matang. Unggah saja di aplikasi itu. Di pagi yang sama, orang-orang langsung bisa mengakses dan meminta produk hasil bumi itu. Transaksi dimulai. Selesai.

Dulu, aplikasi gofood nyaris tak masuk akal bagi banyak orang. Tapi sekarang, banyak orang terbantu dengan aplikasi itu. Orang tak perlu lagi pergi keluar rumah untuk membeli semangkuk bakso. Jarak, keruwetan jalanan, waktu, dan sekian hambatan lain terselesaikan dengan cara itu. Salah satu aplikasi anak bangsa yang sedang dikembangkan misalnya adalah ‘madhang.id’. Kalau tidak salah, salah satu anak Jokowi ikut mengkreasi aplikasi ini. Nalarnya sederhana: ibu-ibu yang memasak di dapur, jika hendak menjual produk mereka tak perlu membuka warung makan. Terlalu ribet. Konsumennya adalah orang-orang yang rindu masakan rumahan, atau masakan ibu mereka. Konsumen dan produsen dipertemukan.

Oke. Balik lagi ke soal petani. Kalau di aplikasi Khula, motor penggeraknya adalah sebuah supermarket. Supermarket ini yang menyediakan alat transportasi untuk mengambil hasil panen petani, dan mendistribusikan ke konsumen. Kalau gofood, motor penggeraknya adalah para sopir gojek. Kalau kelompok petani di Yogya yang saya sebut di atas, mereka mengirim langsung. Tentu itu menjadi kendala tersendiri. Kalau permintaannya 5 konsumen atau lebih, bisa tidak efisien.


Dalam hal ini, tukang sayur keliling bisa menjadi motor penggerak. Jumlah mereka cukup banyak. Di kampung saya, di kecamatan Sale, Rembang sana, sehari bisa didatangi 5 pedagang sayur keliling. Di Yogya atau kota besar lain tentu makin banyak. Di perumahan tempat saya tinggal, dengan jumlah rumah yang hanya sedikit (tak lebih dari 50 rumah), didatangi setidaknya 3 pedagang sayur dan bumbon.

Sulit? Pasti ada kesulitannya. Dulu, sebelum ada gojek, setiap hari kita melihat tukang ojek. Tapi di mata Nabiel Makarim, tukang ojek dilihat dengan cara yang berbeda, dan itu mengubah banyak hal. Di Afrika Selatan, berpuluh tahun petani kecil makin miskin dan menderita. Hingga kemudian dua anak muda bernama Karidas Tsintsholo dan Matthew Piper mengembangkan aplikasi Khula App. (Admin)

Post a Comment for "Petani Kecil dan Teknologi Informasi"